Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan 0,2% pada Maret 2025, menjadi 23,85 juta orang dibandingkan September 2024. Garis kemiskinan saat ini ditetapkan sebesar Rp609.160 per kapita per bulan. Namun, di balik angka penurunan ini terdapat dinamika menarik kemiskinan di perkotaan justru meningkat dari 6,66% pada September 2024 menjadi 6,73% pada Maret 2025 dengan total 12,58 juta jiwa miskin di perkotaan.
Kemiskinan di pedesaan menunjukkan penurunan dari 11,34% menjadi 11,03%, menyentuh 11,27 juta jiwa, meskipun jumlah penduduk miskin di pedesaan masih lebih tinggi. Kenaikan kemiskinan di perkotaan ini memicu pertanyaan tentang efektivitas upaya pengentasan kemiskinan. Para ekonom menilai bahwa penurunan yang hanya 0,2% ini, ditambah dengan naiknya kemiskinan di perkotaan, mengindikasikan kapasitas Indonesia untuk menekan angka kemiskinan semakin terbatas. Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif CELIOS, menyoroti bahwa banyak individu memang keluar dari garis kemiskinan, tetapi pada saat yang sama jumlah orang yang kembali jatuh miskin atau menjadi miskin baru juga tinggi.
Ini menyebabkan penurunan bersih yang sangat minim dan tidak mencerminkan perbaikan signifikan dalam kesejahteraan masyarakat. Bhima juga menggarisbawahi perbedaan mencolok antara data BPS dan Bank Dunia, di mana Bank Dunia masih mengkategorikan 60,3% penduduk Indonesia sebagai miskin pada tahun 2024. Menurutnya, ini menunjukkan adanya masalah dalam definisi kemiskinan pemerintah, terutama karena metode pengukuran BPS yang berusia hampir lima dekade dan berbasis pengeluaran dinilai tidak lagi relevan dengan realitas ekonomi saat ini. Peneliti Ekonom Core Indonesia, Yusuf Rendy Manilet berpendapat bahwa penurunan kemiskinan yang terjadi angka kemiskinan turun karena pemberian bansosnya naik. Jadi bukan prestasi atau kemenangan angka kemiskinan turun, mengisyaratkan ketergantungan konsumsi dasar rumah tangga pada transfer fiskal.