Surabaya – Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) makin mengokohkan diri
sebagai perguruan tinggi yang amat peduli pada Kesehatan masyarakat. Ini terrangkum
dalam acara Sidang Senat Terbuka menandai Hari Lahir (Harlah) ke-12 tahun yang digelar
Rabu (13/8) siang di Auditorium Kampus B Unusa Tower Lt.9.
Ketua Yayasan Rumah Sakit Islam Surabaya (YARSIS), Prof. Dr. Ir. Mohammad Nuh,
DEA, menyampaikan bahwa salah satu indikator keberhasilan Unusa adalah prestasinya
yang melampaui usianya. Salah satunya terlihat dari capaian akreditasi yang meliputi aspek
akademik dan layanan.
Prof. Nuh menjelaskan bahwa sejak awal, Unusa didesain bukan untuk menjadi universitas
yang biasa-biasa saja. Ia kemudian mengibaratkan perjalanan Unusa seperti membangun
dari satu titik menjadi garis, dari garis menjadi bidang, dan dari bidang menjadi ruang yang
utuh. “Hanya menitipkan sesuatu di satu titik tidak cukup untuk menjadi tempat tinggal.
Kita harus menambah titik-titik lain hingga membentuk ruang yang bermanfaat. Kita akan
mengembangkan Unusa menjadi kampus yang unggul, kedepannya kita akan membuka
program PPDS Jantung serta Obgyn, S2 Kesehatan Masyakarat, serta Pendidikan Profesi
Gizi” imbuhnya.
Pada kesempatan yang sama, Rektor Unusa menegaskan bahwa urusan pendidikan sangat
ditentukan oleh kemampuan membaca masa depan. Orientasi Unusa, menurutnya, selalu
bermuara pada kemanfaatan. “Meskipun tantangan semakin berat, jika kita mampu
memenuhi kebutuhan masyarakat, maka manfaatnya akan benar-benar dirasakan. Karena
itu, pada peringatan Harlah kali ini, kami mengangkat tema ‘Terus Berinovasi Meraih
Kejayaan’,” ungkap Rektor.
Ia menambahkan bahwa Unusa akan terus melihat dan mengkaji kebutuhan di sekitarnya
untuk kemudian terlibat aktif dalam penelitian dan inovasi yang memberikan solusi nyata
bagi masyarakat. “Sebab, sebaik-baik manusia adalah yang selalu memberikan manfaat
bagi sesamanya,” pungkasnya.
Dalam pidato pertanggungjawaban rektor tersebut, tiga dosen Unusa yang baru meraih
gelar doktor menyampaikan orasi dalam rangkaian Harlah ke-12 yang semuanya
mengambil tema tentang dunia Kesehatan. Dr. dr. Ardyarini Dyah Savitri, SpPD FINASIM
menyampaikan materi Pencegahan Dini Penyakit Ginjal Diabetik DM Tipe 2:
Mewujudkan Indonesia Sehat, Dr. Yurike Septianingrum, S.Kep., Ns.,
M.Kep.menyampaikan pidato tentang Inovasi Model Dukungan Manajemen Diri dalam
Transisi Perawatan Pasien Stroke, dan Dr. Agus Aan Adriansyah, S.KM., M.Kes.
mengangkat masalah Model Social Competence untuk Peningkatan Kinerja Postnatal Care
Bidan.
Dalam paparannya Ardyarini menjelaskan, Penyakit Ginjal Diabetik (PGD) akibat
Diabetes Melitus (DM) tipe 2 merupakan salah satu komplikasi DM tipe 2 yang cukup
serius dengan risiko morbiditas dan mortalitas tinggi bagi penderita. Utamanya karena
terjadinya penyakit ginjal kronis (PGK) serta gagal ginjal terminal (GGT).
Diakui, hingga kini, PGK dan GGT akibat DM tipe 2 belum berhasil dicegah secara
sempurna dengan terapi yang ada pada saat ini. Hal ini menimbulkan masalah bagi sistem
kesehatan, baik di tingkat nasional maupun dunia, karena beban biaya perawatan yang
tinggi. “Studi di Amerika Serikat menunjukkan, gagal ginjal menelan biaya hingga lebih
dari 15 juta dolar per tahun. Di tingkat nasional, dilaporkan oleh BPJS Kesehatan,
pembiayaan perawatan untuk kasus PGK serta GGT mencapai Rp 11 triliun pada tahun 2024
umumnya mengalami kelemahan anggota gerak, khususnya pada lansia, yang
menyebabkan penurunan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti
makan, mandi, berpindah tempat, dan lain-lain. Kondisi ini bukan hanya menimbulkan
penderitaan pada pasien, tetapi juga beban yang besar bagi keluarga.
Dalam kondisi seperti itulah Yurike mengembangkan sebuah model intervensi yang
disebut sebagai Model Dukungan Manajemen Diri Berbasis Perawatan Transisi. “Model
ini bertujuan untuk meningkatkan perilaku manajemen diri dan kemandirian aktivitas
sehari-hari pasien stroke melalui penguatan efikasi diri sebagai mediator utama. Saya
meyakini ketika pasien memiliki kepercayaan diri terhadap kemampuannya, maka ia akan
lebih termotivasi untuk mengelola kesehatannya secara aktif dan bertanggung jawab,
bahkan setelah keluar dari rumah sakit,” katanya.
Model ini, katanya dirancang untuk memfasilitasi pasien stroke agar mampu meningkatkan
perilaku manajemen diri mereka melalui peningkatan efikasi diri yang didukung oleh
tenaga kesehatan dan keluarga.
“Perawatan transisi adalah pendekatan yang menekankan pada proses berkelanjutan dalam
peralihan perawatan dari rumah sakit ke rumah. Tujuannya adalah membangun kesiapan
pasien dan keluarga, sehingga mereka tidak hanya menjadi penerima pasif perawatan,
tetapi menjadi subjek aktif yang mampu merawat dirinya secara mandiri,” kata Yurike
mengungkapkan.
Sedang Dr. Agus Aan Adriansyah, S.KM., M.Kes. menyampaikan realitas tentang
kesehatan ibu pasca persalinan yang menjadi salah satu isu kesehatan masyarakat
mendesak dan harus mendapatkan perhatian serius. “Di Indonesia, lebih dari 65%
kematian ibu terjadi pada masa nifas akibat komplikasi yang tidak tertangani secara
optimal. Oleh sebab itu, pelayanan postnatal care (PNC) yang berkualitas mutlak
diperlukan sebagai upaya pencegahan dan penanganan dini komplikasi untuk menurunkan
angka kematian ibu,” katanya.
Kata Agus Aan, di lapangan masih menunjukkan banyak kendala, di antaranya, capaian
kunjungan PNC di beberapa daerah, termasuk di Kota Surabaya, masih belum memenuhi
target yang dipersyaratkan. ”Lebih dari 20% puskesmas belum mencapai target kunjungan
PNC, mencerminkan rendahnya kesadaran dan akses ibu nifas terhadap layanan pasca
persalinan.”
Kendala lainnya dan ini memperburuk situasi, adalah kualitas pelayanan PNC yang belum
optimal. Faktor seperti keterbatasan sarana prasarana, biaya, akses transportasi, serta
kurangnya kesadaran ibu nifas terhadap pentingnya kunjungan PNC menjadi penghambat
utama. Selain itu, bidan sebagai pelaksana utama layanan sering kali menghadapi
tantangan dalam aspek kompetensi sosial seperti empati dan orientasi pelayanan yang
masih belum maksimal. Padahal, penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa
kompetensi sosial ini sangat berperan dalam membangun komunikasi efektif serta
kemitraan yang kuat antara bidan, ibu nifas, keluarga, dan tenaga kesehatan lain.
Menyadari kondisi itu, Agus Aan mengembangan model social competence pada bidan
dalam pelayanan PNC, sebagai solusi inovatif. Katanya, model ini dirancang sebagai
respons menyeluruh yang mengintegrasikan berbagai variabel penting agar bidan tidak
hanya menguasai keterampilan teknis, tetapi juga memiliki kemampuan sosial-emosional
yang kuat untuk membangun komunikasi dan kemitraan efektif dalam pelayanan PNC.
“Model ini menempatkan kesadaran sosial –meliputi empati, orientasi pelayanan, dan
kesadaran organisasi– sebagai fondasi utama untuk membangun keterampilan sosial, serta
memperkuat komunikasi interpersonal dan kemitraan antara bidan, ibu nifas, keluarga, dan
tenaga kesehatan lainnya,” katanya.
Agus Aan berharap, dengan model ini, bidan diharapkan tidak hanya menguasai aspek
teknis, tetapi juga mampu membangun hubungan profesional yang responsif, humanis, dan
berbasis empati dengan pasien dan lingkungannya. Penerapan pelatihan berbasis
kecerdasan emosional dan simulasi kasus nyata menjadi bagian penting untuk
menumbuhkan kompetensi ini.
Model social competence menurutnya berbeda dengan model lainnya yang sudah ada,
perbedaan ini terletak pada beberapa aspek kunci, seperti berfokus pada kompetensi sosial
sebagai inti model; penguatan peran komunikasi interpersonal sebagai mediator; integrasi
holistik aspek sosial-emosional dengan praktik kebidanan; dan penekanan pada kemitraan
multi-pihak inklusif.(ss)