SURABAYA – Pemerintah Kota Surabaya mengajukan pinjaman daerah senilai Rp452 miliar untuk menutup defisit dalam Perubahan APBD 2025. Langkah ini dinilai moderat, karena hanya setara 3,7–4% dari total pendapatan tahunan Surabaya dan masih dalam batas aman rasio kemampuan bayar (DSCR). Dibanding kota lain, nilai pinjaman Surabaya tergolong menengah: jauh lebih kecil dari Semarang yang meminjam Rp2,3 triliun dari Jerman, tapi lebih besar dari Sleman atau Sultra yang pinjamannya di bawah Rp100 miliar. Surabaya juga merancang tenor pinjaman agar lunas sebelum masa jabatan wali kota berakhir.
Jika merujuk pada pengalaman daerah lain, keberhasilan utang publik bukan ditentukan besar kecilnya pinjaman, tapi arah dan eksekusinya. Contohnya, proyek RSU Bahteramas di Sultra pada 2006–2010 yang berhasil meningkatkan layanan kesehatan dengan pinjaman hanya Rp50 miliar. Sementara Bandung Barat mampu melunasi pinjaman jalan 71 km dalam 3 tahun, dan Sleman tetap konservatif meski punya kapasitas fiskal tinggi. Surabaya kini dihadapkan pada kebutuhan mendesak seperti kemacetan, banjir, dan penerangan jalan, yang sulit dipenuhi hanya dengan PAD.
Langkah ini bukan sekadar solusi fiskal, tapi juga pernyataan politik bahwa stagnasi pendapatan tak boleh menghambat pembangunan. Namun, keberhasilan kebijakan ini hanya sah jika proyek-proyeknya benar-benar memberi dampak nyata—mengurai kemacetan, menurunkan banjir, dan memperkuat layanan dasar warga. Pada akhirnya, pinjaman publik bukan hanya kontrak fiskal, tapi kontrak kepercayaan yang hanya bisa ditegakkan lewat eksekusi yang disiplin dan transparan.