JAKARTA – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat adanya kekerasan dan penangkapan massal oleh aparat TNI-Polri selama aksi penolakan terhadap UU TNI yang berlangsung pada 20–27 Maret 2025. Sebanyak 191 orang menjadi korban kekerasan di 14 kota, sementara 153 orang ditangkap di delapan wilayah. YLBHI juga menyoroti adanya praktik perburuan dan penculikan terhadap peserta aksi yang sudah menjauhi titik demonstrasi, serta kekerasan terhadap jurnalis dan warga yang mendokumentasikan tindakan represif aparat.
Menurut YLBHI, tindakan aparat tidak mencerminkan upaya menjaga ketertiban, melainkan bentuk intimidasi terhadap kebebasan berekspresi. Di beberapa kota seperti Malang dan Sukabumi, warga sipil serta jurnalis menjadi korban kekerasan dan ancaman saat melaksanakan tugasnya. Temuan ini menimbulkan kekhawatiran atas semakin menyempitnya ruang demokrasi di Indonesia, apalagi UU TNI disahkan di tengah penolakan publik yang luas.
Menanggapi gelombang protes tersebut, Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa demonstrasi adalah hal yang lumrah dalam demokrasi. Namun ia juga mempertanyakan apakah aksi-aksi tersebut murni dilakukan oleh rakyat atau ada yang membayar. Pernyataan ini menuai kritik karena dianggap mengalihkan fokus dari isu kekerasan aparat dan pelanggaran hak warga negara, serta mengaburkan tuntutan substansial masyarakat terkait transparansi dan akuntabilitas dalam proses legislasi.