Surabaya – Todung Mulya Lubis merupakan seorang diplomat, advokad, ahli hukum penyelesaian sengketa, penulis, dan tokoh gerakan hak asasi manusia asal Indonesia. Pada 2018 Presiden Joko Widodo menunjuk Todung Mulya Lubis sebagai Duta Besar Indonesia untuk Norwegia.
Karya Todung Mulya Lubis menjadi momen penting untuk merefleksikan proses demokrasi di Indonesia. Melalui tiga buku terbarunya, “Antara Hukum dan Politik: Membedah Putusan MK dalam Sengketa Pilpres 2024”, “Keadilan Elektoral di MK”, dan “Suara Publik Bergaung di MK”, menghadirkan analisis mendalam tentang sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK).
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Airlangga Surabaya, Mohammad Syaiful Aris mengatakan bahwa karya dari Todung menjadi perbincangan karena mengulas perdebatan yang kompleks dan tidak hanya berfokus pada aspek hukum.
“Karya buku ini menarik karena membahas perdebatan yang tidak hanya hukum, tetapi juga politik, etika, dan psikologi,” ungkap Syaiful Aris, Pakar Hukum Tata Negara Unair saat ditemui di Surabaya.
Lebih lanjut Syaiful Aris menambahkan, karya-karya Todung Mulya Lubis tersebut tidak hanya mengulas perdebatan hukum, tetapi juga menyorot aspek politik, etika, dan psikologi yang mewarnai proses sengketa Pilpres 2024. Todung menyajikan suara publik yang bergaung selama 14 hari kerja sejak permohonan sengketa diregistrasi oleh Kepaniteraan MK, serta dinamika persidangan dan pernak-pernik yang mewarnai proses tersebut. Selain itu juga menekankan bahwa MK tidak hanya menguji perselisihan hasil dan angka, tetapi juga memiliki peran penting dalam perbaikan sistem pemilu ke depan.
“Proses pilpres sudah selesai, tapi kita harus move on. Tapi menarik dicatat beliau proses pilpres terutama dengan sengketa di Mahkamah Konstitusi. Prinsip di undang-undang dasar mengatakan pilpres sebagai sebuah proses yang harus luber dan jurdil,” imbuh Syaiful Aris.
Syaiful Aris juga mengatakan, asas itu dilihat juga apakah penyelesaian sengketa dulu diputuskan dan sifatnya final banding. Sebagai sesuatu yang harus digaris bawahi, di catatan itu penulis menggaris bawahi bahwa MK itu tidak hanya menguji perselisihan hasil dan angka, tapi ada catatan perbaikan terhadap sistem pemilu ke depan. Buku-buku Todung juga membahas perdebatan keilmuan terkait isu-isu krusial seperti bantuan sosial, netralitas aparat, dan independensi penyelenggara pemilu.
“Yang menarik yaitu isu tentang bantuan sosial, kemudian netralitas aparat, tentang independensi penyelenggara pemilu,” tutur Syaiful Aris.
Sementara itu sebelumnya, Megawati Soekarnoputri, Presiden ke-5 Republik Indonesia juga sempat membahas buku dari karya Todung tersebut. Megawati mengkritik soal netralitas polisi dan dugaan kriminalisasi yang dibahas dalam buku Todung.
“Bu Mega mengkritik soal polisi ada di dalam buku, ada isu netralitas dan isu dugaan kriminalisasi,” ujar Syaiful Aris.
Todung sendiri dalam bukunya juga mengkritik MK yang belum maksimal menjalankan fungsinya. Sedangkan di buku kedua Todung, yang ditulis oleh banyak ahli di bidangnya, membahas catatan penting dalam proses demokrasi di Indonesia.
“Todung mengkritik MK belum maksimal menjalankan fungsi. Kalau di buku yang kedua ditulis oleh banyak ahli di bidang, ada catatan dalam proses demokrasi di Indonesia. Sebetulnya hukum demokrasi lebih banyak etika, jadi buku itu menjelaskan bernegara itu juga harus ada kaitan dengan etik,” ujar Syaiful Aris.
“Pilpres 2024: Antara Hukum, Etika, dan Pertimbangan Psikologi” menjadi momentum penting untuk refleksi dan perbaikan sistem demokrasi di Indonesia.
“Catatan untuk kita semua ada hal yang harus diperbaiki yakni sebuah prinsip luber dan jurdil. Proses pemilu tidak dilupakan dan bisa dilakukan perbaikan untuk proses pilpres ke depan,” tutupnya.
Caption Foto : Pakar Hukum Tata Negara Universitas Airlangga Surabaya, Mohammad Syaiful Aris membahas 3 karya buku Todung Mulya Lubis, Antara Hukum dan Politik: Membedah Putusan MK dalam Sengketa Pilpres 2024″, “Keadilan Elektoral di MK”, dan “Suara Publik Bergaung di MK”.(ss)
+ There are no comments
Add yours