Fatwa haram terhadap penggunaan sound horeg yang dikeluarkan oleh pesantren di Pasuruan dan didukung oleh MUI Jawa Timur mendapat tanggapan kritis dari dosen UM Surabaya, M. Febriyanto Firman Wijaya. Ia menyarankan agar fatwa tidak hanya bersandar pada pertimbangan normatif keagamaan, melainkan juga memperhatikan dinamika budaya serta aspirasi masyarakat yang beragam. Menurutnya, dialog antara MUI, pesantren, dan masyarakat penting untuk menghindari perpecahan sosial.

Firman menilai bahwa sound horeg bukan sekadar kebisingan, melainkan juga bentuk ekspresi seni dan budaya yang hidup di tengah masyarakat. Oleh karena itu, pelarangan terhadap sound horeg sebaiknya dikaji secara komprehensif dan tidak dilihat secara hitam-putih. Dalam hukum Islam sendiri, ia mengingatkan bahwa prinsip dasar menyatakan sesuatu itu boleh sampai ada dalil yang kuat untuk mengharamkannya.

Ia juga menyoroti pentingnya pendekatan yang lebih humanis dan kontekstual dalam merespons isu ini. Fatwa yang terlalu kaku dinilai bisa menimbulkan ketegangan sosial dan memisahkan antara nilai-nilai agama dan budaya. Firman berharap kebijakan keagamaan tidak menjadi alat pemisah, melainkan jembatan untuk membangun harmoni dalam masyarakat yang majemuk.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *